Menuju Manusia Indonesia 4.0

Bagi anda penggemar film Hollywood pasti sudah tidak asing lagi dengan film sekuel Terminator  yang dibintangi Arnold Schwazenegger; A.I.: Artificial Intelegence (2001) yang disutradarai oleh Steven Spielberg atau bahkan film I, Robot (2004) yang dibintangi Will Smith hingga film The Bicentennial Man (1999) diperankan dengan apik oleh Robin William. Bolehlah kiranya keempat film ini masuk dalam kategori film tentang robot terbaik sepanjang masa.

bagi sebagian orang film ini hanyalah sekadar film belaka. Tidak lebih tidak kurang. Sebuah "hiburan" semata. Namun, bagi sebagian orang film-film ini menjadi sebuah masa yang suatu saat nanti benar adanya akan kita hadapi. Industri dan bahkan rumah tangga akan mengalami fase dimana segala hal dilakukan tidak lagi oleh manusia namun oleh mesin dan robot. Inilah masa Revolusi Industri 4.0.

Revolusi industri 4.0 adalah revolusi industri generasi keempat. Revolusi industri generasi keempat ini ditandai dengan kemunculan superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik dan perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah Indonesia turut ambil bagian dalam revolusi generasi keempat ini? Siapkah kita? Jika belum, apa yang kemudian harus disiapkan?



Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian menjadi tema utama dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Teknologi Bandung yang dipimpin oleh Muchammad Nasser S.Kom., M.T bekerjasama dengan Kementrian Perindustrian pada Senin 20 Agustus 2018. Diskusi ini mengangkat tema Penyiapan SDM dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0





 Dalam diskusi yang diselenggarakan di The Parlor bandung ini menghadirkan enam narasumber yang sangat kompeten dibidangnya masing-masing. Keenam narasumber tersebut masing-masing memaparkan pandangan mereka mengenai revolusi industri 4.0 di Indonesia dan di dunia saat ini beserta tantangannya dihadapan mahasiswa, pelaku industri dan birokrasi. Hadir sebagai narasumber yaitu, Kepala Pusdiklat Industri Kementrian Perindustrian, drs. Mujiyono, M.M, Ratna Utarianingrum (Industri Kreatif Kementrian Perindustrian), Prof. Dr. Suhono Harso supangkat, M.Eng (Guru besar Institut Teknologi Bandung ITB), Nurlaela Arief, MBA, MIPR (Head Corporate Communication Bio Farma), Ade Sudradjat (Asosiasi Pertekstilan Indonesia API) dan Ronny P Sasmita (Direktur Eksekutif dan Pengamat Ekonomi dari EconoAct).



Kepala Pusdiklat Industri, Kementerian perindustrian,Drs Mujiono dalam presentasinya menyampaikan sebelum menginjak pada revolusi 4.0 bangsa Indonesia harus menyiapkan tenaga kerja yang kompeten. Salah satu jalan adalah melalui pendidikan terutama pendidikan vokasi. Ia menuturkan saat ini pemerintah tengah merombak kurikulum pendidikan vokasi terutama di tingkat SMK. Perombakan ini diharapkan nantinya mampu memenuhi kebutuhan industri pada sumber daya manusia. Selain itu, pendidikan vokasi yang dihubungkan dengan industri pada akhirnya akan membuat angka pengangguran menjadi lebih sedikit.

Sektor industri nasional perlu banyak pembenahan terutama dalam aspek penguasaan teknologi yang menjadi kunci penentu daya saing di era Industry 4.0. Adapun lima teknologi utama yang menopang pembangunan sistem Industry 4.0, yaitu Internet of Things, Artificial Intelligence, Human–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D Printing. 

Langkah dasar yang sudah diawali oleh Indonesia, yakni meningkatkan kompetensi sumber daya manusia melalui program link and matchantara pendidikaan dengan industri. Upaya ini dilaksanakan secara sinergi antara Kemenperin dengan kementerian dan lembaga terkait seperti Bappenas, Kementerian BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan, Kemeneterian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. 

Implementasi Industry 4.0 tidak hanya memiliki potensi luar biasa dalam merombak aspek industri, bahkan juga mampu mengubah berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Hal ini juga diamini oleh Ratna Utarianingrum. Menurut Ratna, salah satu contoh perombakan industri yang terjadi akibat adanya revolusi industri generasi keempat ini adalah di bidang fashion. Kecenderungan orang untuk tidak menggunakan produk massal namun lebih bersifat privat membuat pemerintah yakin bahwa industri kreatif bisa menjadi tumpuan industri yang harus dikembangkan terkait revolusi ini.

Muncul pertanyaan kemudian apakah Indonesia bisa ikut ambil bagian dari revolusi industri yang sudah ada di depan mata ini? Bagaimana sejauh ini daya saing Indonesia?

Berdasarkan Global Competitiveness Report 2017, posisi daya saing Indonesia berada di peringkat ke-36 dari 100 negara. Tentu ini prestasi buat Indonesia meski juga bisa diartikan sebagai cambuk untuk membuat Indonesia lebih baik. hal ini juga yang disampaikan oleh Nurlaela Arief dari Bio Farma. 

Bio farma sebagai satu dari tiga perusahaan vaksin dunia yang mampu menunjukkan daya saing yang sangat tinggi. Bio Farma memiliki inovasi dalam manufacturing vaksin dengan cara Cold Chain System, yaitu pendistribusian vaksin dengan kendaraan berpendingin khusus. Bio Farma sekarang sudah menggunakan Support Bio Farma Digital.

Revolusi Industri adalah sebuah keniscayaan. Ia hadir tepat di depan mata kita. Meski demikian banyak hal yang harus dibenahi terutama di dalam negeri agar mampu bersaing secara global. 

Ronny P. Sasmita mengingatkan bahwa revolusi industri 4.0 perlu didiasati sedemikian rupa. hal ini terkait kondisi bangsa Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ke-empat di dunia sementara tingkat pengangguran dan putus sekolah masih tinggi. "Teknologi hadir untuk membantu hidup manusia. Ia juga hadir untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Namun teknologi juga bisa mengusir kehidupan manusia," ujar Ronny menutup diskusi.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curug Cipanas Nagrak. Wisata Air Panas Alami dan Murah Meriah di Kaki Gunung Tangkuban Parahu

Justice League Kini Hadir di E-Money Bank Mandiri